Sudah satu bulan aku bersamamu. Melepaskan aku
dari belenggu atas nama cinta. Sekarang aku sudah nyaman bersama kamu. Nyaman
sebagai wanita. Bercinta tanpa ikatan kewajiban. Ikatan yang perlahan
membosankan. Seperti katamu, mengetahui kamu menyayangiku dan aku menyayangimu
sudah cukup. Dunia berputar dengan kita
sebagai porosnya.
Dia. Dia wanita yang aku lihat di koridor
busway HI bulan lalu. Dia yang dengan peluh keringatnya, gigih menjinjing
kameranya, dan mantap mengambil langkah, berhasil menarik perhatianku. Aku tau
egoku mulai berbicara lagi. Aku lihat dia. Aku tertarik. Aku ingin. Aku harus dapatkan.
Selalu seperti itu. Tepat saat dia dihadapanku, aku beraksi. Sesuai prosedur.
Dia laki-laki antah berantah pertama yang
berani menjabat tanganku. Aku tercekat saat itu. Sempat ingin teriak. Tapi saat
aku menoleh, aku dibuat diam dengan senyumnya. Dia memperkenalkan diri.
Menawarkan bantuan. Aku memang kepayahan hari itu. Liputanku gagal, dan
perangkat-perangkat pewarta yang biasa aku bawa terlalu lengkap. Berat. Dia
mengambil tas kameraku tanpa menunggu persetujuanku. Entah kenapa aku percaya.
Aku sadar ini modus lelaki. Aku tidak akan mudah dibodohi laki-laki lagi. Aku
pasang muka masam sambil menunjuk bangku disebelah tukang teh botol. Tapi dia
tampan.
Sekarang dia mempersilahkanku datang ke
kontrakannya. Kali ini aku tidak akan gagal. Memang tidak pernah gagal. Ini
sudah prosedurku. Aku ingin dia. Aku akan memperlakukan dia sebaik mungkin agar
dia nyaman bersamaku. Hubungan tanpa status adalah yang terampuh selama ini.
Mungkin juga memang aku hanya mahir dalam hal itu. Aku cinta dia. Dia cinta
aku. Tidak mengikat. Semua senang. Sekarang dia wanitaku. Reporter cantik itu.
Aku tidak bisa jauh darinya. Aku memutuskan
untuk menjadi fotografer lepas saja. Aku
kurangi kewajibanku hanya untuk bisa bersama dia. Mencintai dia. Menyayangi
dia. Aku tak sanggup berlama-lama diluar kota hanya demi atasanku. Aku ingin
menikahi dia. Aku cinta dia. Hidup bersamanya.
Pagi ini menjadi hari terakhirnya. Aku sedih.
Tapi ini satu-satunya cara. Aku cinta dia. Aku tidak banyak jatuh hati. Tapi
kali ini harus dia. Harus. Lalu.... Mobilku dihentikan kerumunan sepeda motor.
Jendela mobilku dipecah. Pintunya dibuka paksa. Mereka menarik aku dan dia
keluar. Kepalanya ditutup kain hitam. Kita dibawa pergi.
Tiba-tiba aku disebuah ruangan gelap. Usang.
Aku terikat. Tanganku dirantai. Kakiku dililit. Leherku terjerat. Tidak bisa
banyak bergerak. Mereka bilang dia sekarat di ruang sebelah. Aku berontak. Berusaha
lepas untuk menolong dia. Pukulan mendarat diperutku. Mereka tertawa. Mereka
gila. Aku direkam. Aku menjerit keras. Aku dipukuli. Aku ditendangi. Aku bisa
mati jika terus begini. Aku menangis mertapi.
Di ruangan gelap. Ada layar monitor. Aku melihat
dia berpeluh keringat lagi. Dia memberontak, menjerit, menangis. Layar monitor
itu tidak mengeluarkan suara, namun sayup-sayup terdengar teriakannya. Dia
pasti tidak jauh.
Aku masih berontak. Mencoba berteriak siapa
tau dia datang menolongku. Aku berharap dia masih hidup. Detik, menit berlalu.
Aku rasa energiku sudah mulai habis. Lelah. Sepertinya tidak mungkin ada orang
menolong. Aku menagis keras. Belum mau mati. Atau setidaknya aku mau mati
disebelah dia. Pria yang aku cinta. Jangan-jangan dia sudah mati duluan. Aku
menangis keras. keras. Sangat keras. Tiba-tiba suaraku tercekat. Tangan salah
satu orang-gila ini mencekikku. Sajian terakhir katanya. Mati perlahan adalah
yang terbaik. Aku mencoba berontak, berteriak dengan sisa-sisa tenagaku. Percuma.
Bahkan suaraku tersumbat cekikannya. Tenaganya terlalu besar. Aku kehabisan
oksigen. Kepalaku pusing. Aku lemas. Aku mati ditangan para cecunguk konyol
ini. Hah, setidaknya aku sempat merasakan cinta terbaik. Aku menghibur diri.
Mati.
Dia meronta-ronta. Berteriak penuh keringat.
Gila! Sudah dua jam! Daya tahan tubuhnya luar biasa mengahadapi siksaan seperti
itu. Biasanya paling hanya beberapa menit sudah menyerah. Aku tidak salah
memilih dia. Aku sangat mencintainya. Sangat menyayanginya. Dia yang terbaik
selama ini. Oh! Dia kehabisan napas! Dia lemas! Meronta percuma. Tepat saat di
mati lemas, aku puas. Ejakulasi. Tidak pernah aku merasakan yang sehebat ini.
Dia yang terbaik. Aku cinta dia. Sekarang saatnya membayar orang-orang bodoh
itu.
No comments:
Post a Comment