Wednesday, February 26, 2014

Greatest love of all(?)




Sudah satu bulan aku bersamamu. Melepaskan aku dari belenggu atas nama cinta. Sekarang aku sudah nyaman bersama kamu. Nyaman sebagai wanita. Bercinta tanpa ikatan kewajiban. Ikatan yang perlahan membosankan. Seperti katamu, mengetahui kamu menyayangiku dan aku menyayangimu sudah cukup.  Dunia berputar dengan kita sebagai porosnya.

Dia. Dia wanita yang aku lihat di koridor busway HI bulan lalu. Dia yang dengan peluh keringatnya, gigih menjinjing kameranya, dan mantap mengambil langkah, berhasil menarik perhatianku. Aku tau egoku mulai berbicara lagi. Aku lihat dia. Aku tertarik. Aku ingin. Aku harus dapatkan. Selalu seperti itu. Tepat saat dia dihadapanku, aku beraksi. Sesuai prosedur.

Dia laki-laki antah berantah pertama yang berani menjabat tanganku. Aku tercekat saat itu. Sempat ingin teriak. Tapi saat aku menoleh, aku dibuat diam dengan senyumnya. Dia memperkenalkan diri. Menawarkan bantuan. Aku memang kepayahan hari itu. Liputanku gagal, dan perangkat-perangkat pewarta yang biasa aku bawa terlalu lengkap. Berat. Dia mengambil tas kameraku tanpa menunggu persetujuanku. Entah kenapa aku percaya. Aku sadar ini modus lelaki. Aku tidak akan mudah dibodohi laki-laki lagi. Aku pasang muka masam sambil menunjuk bangku disebelah tukang teh botol. Tapi dia tampan.

Sekarang dia mempersilahkanku datang ke kontrakannya. Kali ini aku tidak akan gagal. Memang tidak pernah gagal. Ini sudah prosedurku. Aku ingin dia. Aku akan memperlakukan dia sebaik mungkin agar dia nyaman bersamaku. Hubungan tanpa status adalah yang terampuh selama ini. Mungkin juga memang aku hanya mahir dalam hal itu. Aku cinta dia. Dia cinta aku. Tidak mengikat. Semua senang. Sekarang dia wanitaku. Reporter cantik itu.

Aku tidak bisa jauh darinya. Aku memutuskan untuk menjadi fotografer lepas saja.  Aku kurangi kewajibanku hanya untuk bisa bersama dia. Mencintai dia. Menyayangi dia. Aku tak sanggup berlama-lama diluar kota hanya demi atasanku. Aku ingin menikahi dia. Aku cinta dia. Hidup bersamanya.

Pagi ini menjadi hari terakhirnya. Aku sedih. Tapi ini satu-satunya cara. Aku cinta dia. Aku tidak banyak jatuh hati. Tapi kali ini harus dia. Harus. Lalu.... Mobilku dihentikan kerumunan sepeda motor. Jendela mobilku dipecah. Pintunya dibuka paksa. Mereka menarik aku dan dia keluar. Kepalanya ditutup kain hitam. Kita dibawa pergi.

Tiba-tiba aku disebuah ruangan gelap. Usang. Aku terikat. Tanganku dirantai. Kakiku dililit. Leherku terjerat. Tidak bisa banyak bergerak. Mereka bilang dia sekarat di ruang sebelah. Aku berontak. Berusaha lepas untuk menolong dia. Pukulan mendarat diperutku. Mereka tertawa. Mereka gila. Aku direkam. Aku menjerit keras. Aku dipukuli. Aku ditendangi. Aku bisa mati jika terus begini. Aku menangis mertapi.

Di ruangan gelap. Ada layar monitor. Aku melihat dia berpeluh keringat lagi. Dia memberontak, menjerit, menangis. Layar monitor itu tidak mengeluarkan suara, namun sayup-sayup terdengar teriakannya. Dia pasti tidak jauh.

Aku masih berontak. Mencoba berteriak siapa tau dia datang menolongku. Aku berharap dia masih hidup. Detik, menit berlalu. Aku rasa energiku sudah mulai habis. Lelah. Sepertinya tidak mungkin ada orang menolong. Aku menagis keras. Belum mau mati. Atau setidaknya aku mau mati disebelah dia. Pria yang aku cinta. Jangan-jangan dia sudah mati duluan. Aku menangis keras. keras. Sangat keras. Tiba-tiba suaraku tercekat. Tangan salah satu orang-gila ini mencekikku. Sajian terakhir katanya. Mati perlahan adalah yang terbaik. Aku mencoba berontak, berteriak dengan sisa-sisa tenagaku. Percuma. Bahkan suaraku tersumbat cekikannya. Tenaganya terlalu besar. Aku kehabisan oksigen. Kepalaku pusing. Aku lemas. Aku mati ditangan para cecunguk konyol ini. Hah, setidaknya aku sempat merasakan cinta terbaik. Aku menghibur diri. Mati.

Dia meronta-ronta. Berteriak penuh keringat. Gila! Sudah dua jam! Daya tahan tubuhnya luar biasa mengahadapi siksaan seperti itu. Biasanya paling hanya beberapa menit sudah menyerah. Aku tidak salah memilih dia. Aku sangat mencintainya. Sangat menyayanginya. Dia yang terbaik selama ini. Oh! Dia kehabisan napas! Dia lemas! Meronta percuma. Tepat saat di mati lemas, aku puas. Ejakulasi. Tidak pernah aku merasakan yang sehebat ini. Dia yang terbaik. Aku cinta dia. Sekarang saatnya membayar orang-orang bodoh itu.

No comments:

Post a Comment